THE TRUE PLURALISM, Antara Pluralisme dan Pluralitas
Indonesia merupakan Negara yang sangat besar dan sangat beragam
dari berbagai segi. Mulai dari pulau, suku, agama, bahasa, ras, dan keberagaman
lain yang sangat besar dan banyak jumlahnya. Tentu saja hal ini memiliki
kelebihan maupun kekurangan yang banyak pula. Salah satu kelebihannya yaitu,
apabila kita bisa saling menghargai satu sama lain maka Indonesia akan menjadi new
powerfull country atau Negara adidaya baru, namun jika salah mengelola maka
akan menjadi boomerang bagi kita, konflik dan perpecahan akan terjadi
dimana-mana karena memang kita terbangun dan berdiri di atas berjuta
perbedaan yang memang nampak. Hal ini tentu saja tidak kita inginkan bukan?
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara kita
merawat persatuan di tengah keberagaman atau masyarakat yang plural tersebut?
Apakah dengan menyatukan perbedaan? Atau menyamakan perbedaan sehingga
perbedaan tidak ada? Atau bagaimana? Sekarang kita mulai dari kata ragam
sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ragam memiliki arti macam, jenis,
bersatu hati, kerukunan. Kita garis bawahi arti ragam dalam bahasa indonesia,
bahwa keragaman itu adalah suatu kerukunan, suatu kesatuan hati untuk saling
menghormati dan menghargai, bukan saling menyamakan. Namun, akhir-akhir ini
sangatlah miris keragaman dan pluralisme yang kita pahami hanya seputar
“toleransi” yang menimbulkan persepsi yang jauh dari kaidah. Mengapa saya katakan
demikian? Jadi, ditengah-tengah masyarakat kita jika kita sudah bicara plural
maka mereka langsung berpikir jika tidak menghargai atau toleransi menurut
pandangan yang terbangun maka disebut intoleransi.
Misalnya ketika ada yang memeluk agama islam namun dalam
bentuk bersyukurnya ia memberi sesajen pada pohon, itulah cara yang salah.
Namun ketika saya tegur bahwa itu salah maka langsung saja penghakiman yang
datang bahwasanya saya orang intoleransi, radikal, atau bahkan bibit terorisme.
Itu tentu saja salah, sekarang kita analogikan.
Dulu pada zaman jahiliyah, masyarakat Mekah
hidup dengan berbagai ilmu pengetahuan namun mereka menyembah patung, bukan
menyembah Tuhan. Maka Tuhan mengutus Nabi Muhamad SAW untuk meluruskan paham
mereka, bahwasanya apa yang mereka lakukan salah. Atas dasar pemahaman bahwa
itu berasal dari nenek moyang maka mereka menyerang Rasulullah dengan berbagai
argumen yang sangat tidak manusiawi. Sesuatu yang salah kemudian diperbaiki
oleh Rasulullah, apakah beliau intoleransi? Apakah dengan dalil budaya maka
bisa membenarkan yang salah? Disini saya tidak mempermasalahkan budaya, saya
juga bagian dari budaya yang ada. Namun, maksud saya jika budaya sudah
menyimpang dari akidah maka itu sudah sepatutnya kita luruskan? Setelah membaca
ini pasti anda setuju bahwa yang salah harus segera di perbaiki bukan? Kalau
belum setuju mari kita berbicara mengenai masalah yang lebih jauh.
Berbagai tradisi yang ada ditengah masyarakat kita banyak yang
bersimpangan dengan akidah terutama Islam. Bentuk bersyukur kepada Tuhan namun
memberi sesaji kepada pohon, bersyukur kepada Tuhan dengan memberi sesaji
kepada pohon. Sekali lagi saya tekankan, saya bukan anti kebudayaan, saya bukan
menyelahkan kebudayaannya. Namun cara yang demikian itu bukankah menyelahai
akidah? Apakah tindakan tersebut tidak musyrik? Tentu anda memiliki pandangan
mengenai hal ini.
Selanjutnya mengenai pluralism, kata ini terdiri dari kata
plural yang berarti keragaman dan isme yang berarti paham. Maka pluralisme
memiliki arti paham keberagaman. Secara arti sebenarnya sangat bagus bahwa kita
harus menjadi pribadi yang toleran dan bersatu diatas berbagai perbedaan, namun
ingat! Bukan menyamakan perbedaan agar menjadi sama. Namun apa yang terjadi di
tengah masyarakat kita sekarang. Mereka terjerumus dalam pengertian bahwa paham
keberagaman itu bahwa menyatukan perbedaan. Sekilas kata menyatukan perbedaan
bagus, namun kita lihat lebih jauh bahwa menyatukan perbedaan berarti
mempersamakan perbedaan. Jadi perbedaan yang ada dibuat menjadi satu, sama saja
artinya menjadi tidak ada perbedaan.
Inilah yang tidak bisa diterima di Indonesia, karena
masyarakat Indonesia memiliki berjuta perbedaan yang nyata. Namun sekarang,
kenyataan ini sudah terlanjur tumbuh dan terus disebarkan oleh oknum-oknum yang
ingin kita rusak. Seolah-olah semua bisa dipersamakan. Kita sudah sejak di
sekolah dasar diajari, misal ada pertanyaan “Adi memiliki teman bernama
Andi, Adi adalah seorang yang beragama Kristen dan Andi beragama Islam. Ketika
Andi beribadah apakah yang harus dilakukan oleh Adi” misal ada pilihan
ganda A. Adi ikut beribadah dengan Andi, B. Adi membiarkan Andi beribadah
dengan aman, C. Adi mengganggu Andi yang sedang beribadah, maka jawaban
anda apa? Pasti semua memilih pilihan (B) bukan?
Tentu saja kita memilih B, karena memang itu yang paling
benar. Apakah jika anda seorang Kristiani dan memiliki teman Hindu maka anda
akan ikut beribadah di Pura, tentu tidak. Namun anda akan turut menjaga dan
menghormati teman anda yang beribadah tersebut. namun, akhir-akhir ini kita
seolah dipaksa untuk memilih poin ini, bahwa ketika kita toleransi maka kita
harus turut dalam peribadatan agama lain. Mengapa saya bicara demikian, misal
ketika Hari Raya Natal, itu adalah hari besar umat Kristiani, maka sudah seharusnya
yang non-Kristiani mereka hanya perlu menghormati dan menjaga agar semua lancar
tanpa hambatan. Hal ini bukan berarti anda harus turut merayakan natal dengan
menggunakan pakaian Santa Klaus sesuai kepercayaan kaum Kristiani, atau anda
harus memiliki pohon natal di rumah, dan lain sebagainya. Ketika hari besar
agama lainnya pun begitu, kita tidak boleh memaksakan terhadap penganut agama
lain. Namun sekarang seakan-akan harus begitu, karyawan yang tidak memakai
pakaian Santa Klaus ketika Natal dianggap intoleran. Itu tentu saja salah.
Sudah seharusnya pluralisme yang sebuah paham kita rubah menjadi pluralitas yang
berarti sikap. Ketika plural menjadi paham maka yang ada hanya akan saling
menyalahkan dan menganggap orang lain intoleran, namun jika plural menjadi sikap
maka kita akan selalu menjadi pribadi yang toleran dan saling menghargai dalam
arti yang sebenarnya.
Kita sebagai Bangsa Indonesia sudah seharusnya menghargai
perbedaan, namun bukan berarti kita harus menyatukan perbedaan itu untuk
menjadi toleran. Kita harus menghargai perbedaan namun bukan berarti kita
membiarkan yang salah di depan mata kita. Itu bukan intoleran, jika itu
dianggap intoleran maka sudah barang tentu seluruh pembawa agama kita adalah
orang yang intoleran. Itukan salah besar dan merupakan pikiran yang sesat, maka
dari itu mulailah menerapkan toleransi yang hakiki, menghargai dalam
batas-batas toleransi dan menghormati dalam batas kebangsaan dan kebudayaan.
Namun bukan dalam hal yang vital seperti keagamaan dan lain sebagainya. (Pandangan Pribadi)
sumber gambar: https://www.hipwee.com/wp-content/uploads/2016/12/hipwee-plural.jpg
sumber gambar: https://www.hipwee.com/wp-content/uploads/2016/12/hipwee-plural.jpg
Komentar
Posting Komentar